Evaluasi kedekatan ortu anak – menyikapi perkelahian sebaya

Masa kecil kita tidak mungkin selalu diwarnai dengan keceriaan. Di tiap selanya pasti ada situasi sulit yang harus kita lalui seiring bertumbuhnya diri secara fisik dan juga emosional, salah satunya terwujud dalam bentuk konflk dengan teman sebaya yang tak jarang berujung pada kekerasan fisik atau perkelahian.

ilustrasi Perkelahian (Sumber dari sini)

Orang dewasa mungkin memandang dengan wajar terhadap fenomena saling ejek, tampar, hingga tendang-menendang antar sesama anak. Dengan treatment yang tepat, perkelahian anak itu bukan hal sulit untuk diatasi, apalagi problem anak itu tidak sekompleks yang dialami orang tua pada umumnya. Tapi konsekuensi perkelahian anak saat ini ternyata lebih membahayakan, sampai-sampai bisa menghilangkan nyawa seperti yang baru-baru ini terjadi pada seorang siswa SD di Ibukota. Perkelahian anak menjadi masalah klasik yang tidak bisa terus menerus kita pandang sebelah mata.

Luapan emosi yang berujung pada kekerasan seringkali tidak terhindari sebagai bentuk naluri alamiah milik setiap manusia. Hanya saja di dalam diri anak-anak, kekerasan hanyalah bentuk respon spontanitas karena kebingungan saat menghadapi konfilk & persoalan. Anak adalah pribadi yang gampang bertengkar namun juga sosok yang mudah untuk saling sayang dan memaafkan.

rasa frustasi adalah salah satu sumber luapan emosi pada anak

Lalu mengapa begitu parah dampak dari pertengkaran anak saat ini? Sekali lagi kita tidak dapat melupakan unsur tontonan dan hiburan zaman ini sebagai dalang berbagai perilaku negatif pada anak-anak yang tak pernah terpikir di masa lampau. Akan tetapi keliru rasanya jika terus-menerus memaki raksasa di balik industri pertelevisian, apalagi menuntut upaya Komisi Penyiaran, tanpa kita lebih dulu berusaha menyediakan pelita kecil yang bersinar dari kedekatan antara ortu dan anak.

Kedekatan tidak berarti 24 jam ortu bersiaga di samping sang anak. Harus diakui, apapun profesinya, ortu saat ini memliki tuntutan besar untuk berada di luar rumah, terlebih di pihak ayah. Anak pun tak kalah sibuknya dengan kewajiban sekolah, les, dan hal lain yang tak terhitung banyaknya. Adanya kerjasama antara ortu dan anak adalah yang mampu membangun jembatan emosional keduanya, kapan dan dimanapun berada.

Setidaknya ada 7 momen penting dimana ortu harus hadir baik secara fisik maupun emosional bagi sang anak..Inilah yang disebut momen emas, yang akan memberi pengalaman berkesan kelak saat bertemu maupun berpisah antar keduanya – FYI daftar ini saya peroleh dari pesan broadcast seorang teman 🙂 :

  1.  Pagi hari  – saat membangunkan anak, 5 menit untuk bermain dan bercerita tentang mimpi-mimpinya
  2. Siang hari – 5 menit untuk bercerita tentang kegiatan dan cerita ringan siang itu
  3. malam hari – bercerita dan memberi komentar positif untuk kegiatan anak selama seharian
  4. liburan – aktivitas total bisa dilakukan di sini, tak harus pergi jauh, yang penting menjalani aktivitas bersama (cuci mobil, masak, baca buku, dsb.)
  5. di kendaraan – bercerita dan menyelipkan nasihat, terutama berkaitan dengan tata tertib di jalanan
  6. saat anak sedih – di sinilah ortu berusaha menampung beban emosional sang anak, sekaligus waktuny menjadi sosok terpercaya akan diberi pahlawan oleh anak sepanjang masa hidupnya
  7. saat anak unjuk prestasi – kehadiran ortu pada saat lomba akan menjadi kenangan manis yang tak terlupakan bagi sang anak, tak peduli menang atau kalahnya.

Sekali lagi perlu kita yakini, bahwa setiap anak tak pernah bahagia ketika ia melukai orang lain. Ini adalah bentuk kemurnian jiwa yang mereka miliki. Tinggal bagaimana peran orang tua, sebagai pihak dewasa yang telah memahami baik-buruknya perilaku, berusaha menjadi sosok yang siaga sebagai pelampiasan emosional (dalam konteks positif) agar anak tidak terbiasa dengan perilaku negatif seperti halnya kekerasan. tak kalah penting adalah bagaimana hadirnya adalah bukan sebagai boss..tapi sebagai mentor yang mampu mengarahkan sekaligus disayang dan diyakini sepanjang waktu oleh para asuhannya.

PR besar untuk kita semua… 😀

Kebakaran – refleksi hidup yang cuma sesaat

Foto-foto Kebakaran di Kelurahan 3-4 Ulu Palembang
sumber foto di sini

Tak lama berselang pasca hari raya idul fitri 1436, warga penghuni Lorong Firma, kelurahan 3-4 Ulu Laut dikagetkan dengan peristiwa kebakaran yang cukup dahsyat. Akibatnya puluhan rumah dan tempat peribadatan hangus dan rata dengan tanah. Suka cita dan kenangan manis momen kumpul dan sanjo (silaturahmi) dengan keluarga tiba-tiba lenyap bersama kumpulan abu dan asap pekat yang berterbangan di langit Kota Palembang.

Kebakaran adalah bencana yang rawan menimpa masyarakat perkotaan yang padat penduduk. Sumber api berupa bahan bakar, alat elektronik, dan alat pemantik lainnya menunjukkan bahwa manusia masih menjadi aktor sekaligus korban utama dari tragedi yang menyebabkan kerugian tidak sedikit ini. Sebagai salah satu man-made disaster rasanya mustahil kalau kita sendiri tidak mampu mengatasi kebakaran, apalagi sekedar menyusun langkah sistematis untuk mengahadapi efek negatif dari si jago merah. Di sinilah pendidikan mitigasi punya peran penting khususnya di dalam institutsi pendidikan seperti sekolah.

Alur kerja penanganan kebakaran (sumber gambar di sini)

Sekalipun bisa diatasi atau diminimalisir dampaknya, seringkali kebakaran memberi efek membekas dari sisi kemanusiaan yang nilainya sulit untuk kita kalkulasi . Besar dan sedikitnya kerugian materiil bisa tergambar dengan nominal angka, tapi tidak demikian untuk kondisi moril yang dialami korban.

Di hari ketiga pasca kejadian, saya bisa mengamati segalanya dengan jelas. Empat puluh rumah terbakar dan lima puluhan lebih kepala keluarga yang terlantar adalah angka yang menurut saya cukup besar untuk memberi dampak psikologis yang nyata bagi penghuni Lr. Firma. Kenyataanya, warga tetap beraktivitas seperti biasa meski harus menjalani rutinitas di balik tenda-tenda semi permanen yang disediakan BNPB Kota Palembang. Raut kesedihan memang masih tampak dari wajah anak-anak yang urung bersekolah hari itu karena perlengkapan yang hangus dilalap api. Tapi sosok remaja yang hadir, seperti Andre, kala itu menepis selintas pikiran negatif saya dengan keramahtamahan dan antusiasmenya menyambut para tamu yang ingin menyumbang dengan sebagian harta & sekedar empatinya

IMG20150731110929IMG20150731110849IMG20150731111851 IMG20150731110112

Peristiwa kebakaran ini juga membuka rekaman lama dan pembelajaran hidup yang berkesan dari keluarga saya pribadi. Medio 1960-an, rumah kakek di Pagar Alam pernah habis dilahap si jago merah. Singkat cerita, tidak ada harta benda yang tersisa melainkan sedikit perhiasan yang tersimpan di brangkas dan toko pupuk yang letaknya di pasar, beberapa meter jauhnya dari rumah.

Rasanya seperti mimpi, mengingat sosok kakek, seorang entrepreneur yang cukup dikenal di seantero kota, mengalami musibah saat berada di puncak kesuksesannya. Seseorang yang terbiasa dihimpit oleh kesulitan ekonomi mungkin sudah terbiasa sabar menghadapi hal semacam ini. tapi rasanya lebih sulit untuk kita yang terbiasa dengan segala kecukupan. Beruntung karena rahmat Allah, kakek-nenek sekeluarga berhasil lulus dari ujian ini. Mulai kembali dari nol membangun bisnis hingga mendirikan tempat tinggal nan nyaman untuk anak-cucunya beberapa tahun setelah kejadian yang naas itu. Cerita ini mengalir begitu sederhana lewat mulut Ibu & Makwo (uwak), seolah tidak pernah terlintas di benak saya kalau ada masa sesulit itu dalam linimasa keluarga kami.

Sepandai apapun manusia menghindar, tapi bencana akan senantiasa mengintai kita seperti halnya kebakaran. Pada akhirnya tidak menyisakan satupun bagi pemiliknya melainkan sekedar abu dan sebuah pilihan dalam bersikap, apakah putus asa atau terus maju menjalani kehidupan. Saya teringat dengan teguran Allah dalam bentuk permisalan ini..

“Perumpamaan kehidupan dunia ituhanyalah laksana air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.” (QS Yunus: 24)

Permisalan ini kembali menegaskan kita bahwa kehidupan dunia itu sementara. Berbagai perbendaharan dan perhiasan itu cuma titipan yang sewaktu-waktu bisa didapat dan jua hilang, yang berbekas hanya manfaat atau nilai non-materi nya yang disebut amal. Lalu apa yang perlu kita takutkan melainkan kepada-Nya, kalau-kalau tidak satupun kelebihan ini menjadi amal bagi diri dan sesama, terlebih lagi menjadi penolong bagi kita di akhirat kelak.

Kehidupan yang sementara ini menghendaki kita agar menjadi seorang planner yang bijak, meski hanya untuk sepinggan nasi atau seperak uang yang kita belanjakan. Materi boleh sedikit tapi manfaat bisa terus digali hingga optimal. Bercita-cita kaya pun jangan pula luput dari keinginan seperti para sufi dan pengikut tarekat. Karena dengan kekayaan itu kita bisa menjadi daya ungkit bagi amal kita di dunia layaknya para sahabat Radiyallahu’anhum.

Wallahua’alam

https://i0.wp.com/langitilahi.com/v2/pustaka/2013/10/pohonyangbaik.jpg
bercita-cita lahmenjadi pohon yang baik. (Sumber gambar di sini)