Refleksi tujuan: menumbuhkan kecintaan kepada Sains (pt. 1)

 

DSCN8038.JPG

Kita sering berjalan ke suatu tempat bukan? Tidak peduli dekat atau berkilo-kilo jauhnya.  Setiap perjalanan akan mempertemukan kita pada episode demi episode yang kadang agak nyeleneh dari perencanaan kita sebelumnya. Ada orang yang bisa menanggapinya dengan santai, tapi buat saya pribadi, berbagai distorsi terhadap apa saya rencanakan seringkali membuat timbulnya mental breakdown yang cukup signifikan (well, mungkin karena saya bergolongan darah A -_-). Tetapi setelah saya pelajari, ternyata tidak ada resep khusus agar langkah kita tetap teratur meski dalam keadaan gontai dan lemah sekalipun. Satu-satunya hal bisa memantapkan langkah kita adalah sejauh mana kita memahami dasar dari semua pekerjaan yang kita jalani yakni “Niat” serta “Tujuan” yang melandasinya.

Memahami tujuan adalah hal yang penting karena ia adalah rahim dari segala tindakan. Dalam konteks saya saat ini yang diamanahkan sebagai pelatih kelas Olimpiade Biologi, tujuan yang masih melekat di dalam pemikiran saya adalah bagaimana anak-anak di sekolah ini bisa lolos dalam seleksi tingkat Kota dengan seksama dalam waktu sesingkat-singkatnya (mirip naskah proklamasi). Untuk itu saya merasa cukup dengan memberi materi dan drilling soal-soal begitu saja kepada anak-anak. Tanpa mempertimbangkan kondisi mereka setelah berjam-jam “dihajar” di sekolah.

Alhasil tidak sekali dua kali saya menemui ganjalan selama melatih. Dimulai dari kelas yang tidak berjalan sesuai lesson plan, kehadiran yang minim, hingga beberapa siswa yang terjangkit “Muntaber” alias mundur tanpa berita. Di tengah kebingungan mempelajari dan menyusun materi yang bisa memudahkan saya dalam proses mengajar. Tiba-tiba saya disentil oleh seminar daring “Kurikulum Merdeka Belajar” yang dibawakan oleh Ibu Najeela Shihab dari Kampus Guru Cikal.

Bagian pertama dari kurikulum yang menumbuhkan merdeka belajar, selalu dimulai dengan gambaran CITA-CITA. Kejelasan kompetensi ideal yang akan ditumbuhkan, menjabarkan bagaimana kita dapat mengasess capaian, dan bagaimana tahapan menuju tujuan (assessed curriculum). Pertanyaan sederhana tentang tujuan bersama, sedihnya bukan pertanyaan yang dengan mudah dijawab oleh banyak orang di satuan pendidikan. Sebagian kita merasa tidak memiliki kemerdekaan menetapkan tujuan, sebagian lagi jarang merefleksikan pengalaman masa lalu atau kesulitan saat diminta membayangkan masa depan.

Proses pendidikan yang begitu kompleks, dalam kurun waktu belasan tahun dilalui tanpa menjawab pertanyaan mendasar, untuk apa saya hadir di kelas, belajar dan mengajar setiap hari. Akibatnya, banyak hal yang kita pikir kita dapatkan dari pendidikan, mungkin sekedar “kebetulan” bermanfaat. Bukan proses yang dengan eksplisit dan sengaja direncanakan, dengan kata lain, bukan kurikulum. Tak heran sebagian anak jadi tertinggal, tak heran nasib anak ditentukan bukan oleh kualitas pendidikan tapi oleh proses seleksi alias kondisinya saat masuk sekolah.

(Sumber: Facebook KGB)

Mungkin yang Beliau ceritakan adalah kurikulum pendidikan secara luas, namun tetap saja saya merasa tersentil karena saya dan anak-anak sendiri adalah bagian dari kurikulum. Saya merasa berdosa karena menyederhanakan tujuan kelas yang saya ampu sebagai sarana untuk sebuah kompetisi temporer semata. Meskipun sekolah sendiri telah merestui, tetapi dimana letak merdekanya?

Kemerdekaan adalah langkah awal kita menuju tujuan belajar. Hal itulah yang mendorong saya jauh hari mengajukan pertanyaan lewat secarik kertas kepada seluruh anak-anak tentang “Apa yang ingin kamu pelajari dan bagaimana cara yang paling kamu sukai untuk belajar Biologi?.” Semua menjawab dengan cukup serasi..yakni ”tidak ribet kak, menggunakan media visual kak, ada praktikumnya kak” dan sebagainya. Terlihat bahwa anak-anak punya keberanian mengajukan pendapat, keberanian untuk mendeklarasikan kemerdekaannya dalam belajar.

Hanya saja saya lupa untuk menindaklanjuti suara-suara mereka. Hingga nasehat Bunda Najeela membuat saya kembali tersadar dan membuka kembali lembaran tentang cita-cita mereka di kelas yang sudah tersimpan di rak berbulan-bulan lamanya.

Mengintip kembali tujuan itu seperti membuka lembaran lama, berat dan ngilu rasanya. Terutama ketika menyadari banyak sekali langkah-langkah keliru yang kita ambil. Olimpiade sains yang tujuan  utamanya adalah menumbuhkan kecintaan terhadap sains, di tangan saya, berubah menjadi kuliah umum yang pragmatis dan menambah beban kurikulum anak-anak di sekolah.

Tidak ada hal lebih baik melainkan memohon ampun kepada Allah dan kepada anak-anak dengan menyelaraskan apa yang dulu pernah menjadi cita-cita milik bersama. Saya sejak awal berharap agar anak-anak memiliki literasi ilmiah yang baik, menjadi orang yang terampil dalam membaca, menganalisa, dan percaya diri menyampaikan pikirannya. Mereka pun berharap agar mendapat wawasan baru dan keterampilan lab yang tidak diajarkan di kelasnya.

Untuk itu saya kemudian menggagas kembali kelas praktikum, PROBIOTIK (Praktikum Biologi FUntastic) yang akan diadakan minimal 3 minggu sekali. Di kelas Probiotik yang pertama ini, saya dan anak-anak membuat ekspresimen sederhana tentang “pengaruh asam terhadap kelarutan protein” yang menginspirasi pembuatan keju di seluruh dunia. Eksperimen ini secara langsung mengajarkan tentang sikap dan metode ilmiah yang dipelajari di kelas, juga berhubungan tidak langsung dengan silabus olimpiade tentang “Protein” sebagai makromolekul yang sangat vital bagi kehidupan.

DSCN7991.JPG

Saya hanya berdoa agar kami semua bisa menjaga semangat dan kekompakan di kelas ini. Begitu halnya dengan target berprestasi. Semoga selarasnya tujuan kami dan sekolah bisa membuahkan bukan hanya prestasi tapi juga ridho Allah sebagai balasannya. Aamiin

DSCN7987.jpg crop.jpg

“Om Telolet Om”

 

Hasil gambar untuk om telolet om minion
sumber gambar (di sini) sini)

 

“Om telolet om…”

Frase ini seketika muncul sebagai fenomena yang membanjiri dunia maya. Ada yang menanggapinya dengan biasa, tapi kebanyakan menerimanya dengan antusias. Fenomena OTO adalah secuplik gambaran betapa hebatnya internet mempengaruhi tren masa kini, khususnya di Indonesia. Di negara  pengakses internet terbesar ke-6 di seluruh dunia ini, para netizen nya seperti punya otonomi lebih untuk menentukan tren dunia. Meski begitu, sifat buruk tren selalu sama, yakni merecoki pikiran siapapun – mau tidak mau – sampai kehebohan itu mereda dengan sendirinya.

Fenomena OTO bagi warga dunia sekilas terdengar asing, padahal tidak benar secara utuh. Di Amerika, hal serupa biasa dilakukan anak kecil saat melihat truk-truk melintas di jalanan kota. Dengan cara yang tidak jauh dengan yang kita lihat, Sambil menanti truk lewat, anak-anak ini membuat signboard atau menggunakan gestur khas yang dikenal dengan istilah “arm pump” agar truk dihadapan mereka membunyikan klakson lantas mereka tertawa riang karenanya 😀

Saya kemudian tersadar,bahwa fenomena OTO harus disikapi dengan bijak, meskipun agak ngeselin. Tidak semua hal yang beredar di dunia maya itu buruk bukan?.

Fenomena OTO, jika kita tilik dari sudut pandang psikologi anak, bukanlah sekedar hiburan semata. Kemunculan OTO adalah bukti sederhana bahwa manusia sejak dini sudah dikaruniai kemampuan bereksperimen dan membuat kebaharuan (inovasi). Orang dewasa mungkin mengganggapnya iseng atau kurang kerjaan, tetapi sejatinya perilaku anak tak pernah muncul sendiri tanpa ada sebabnya. Salah satu tujuan perilaku anak, menurut Ustadz Faudhil Adhim, adalah menciptakan hubungan baik (connectedness). Anak-anak akan berusaha meniru atau mencoba segala hal yang bisa membantu komunikasi dengan orang yang lebih dewasa dari usianya. Jadi kalau dipikir-pikir, “Om Telolet Om” bukan sekedar permainan, melainkan sebuah alat komunikasi yang inovatif dan memperkaya khazanah kita dalam berbahasa . (wow)

Reaksi apa yang kita bayangkan saat eksperimen yang kita ujicobakan berhasil ? Tidak peduli anak kecil atau orang dewasa, orang zaman dahulu hingga yang hidup di zaman sekarang (tengok saja Archimedes dengan “Eureka” nya :D). Keberhasilan eksperimen akan memberi kebahagiaan yang begitu alami dan nyata. Terutama bagi sang anak –para penemu cilik-  momen ini akan menjadi nostalgia yang sangat berharga bagi tumbuh kembangnya nanti.

Di sisi lain fenomena OTO lebih banyak memunculkan efek negatif saat ditiru dan diduplikasi oleh banyak orang. Banyak orang turun ke jalan hanya untuk meminta OTO kepada bus-bus yang melintas, tanpa mengenal waktu dan menimbang resiko yang timbul karenanya. Banyak pula diantara mereka yang serampangan menggunakan frase ini, tanpa memperhatikan konteks dan lawan bicara. Adakah yang pernah berpikir? Di saat begitu banyak masalah menyandera ibu pertiwi, rasa bangga kita terhadap tren sesaat ini menjadi cermin kedewasaan kita yang lebih memilih kebahagian yang “semu” dan artifisial ketimbang hal lain yang lebih bermanfaat  (na’udzubillah)

Pada akhirnya saya hanya bisa berharap, agar fenomena OTO tetap membawa nilai positif, terutama dari segi perhatian kita terhadap pendidikan anak. Sembari mengingatkan kembali bahwa rumus kebahagiaan itu berawal dari melatih kemampuan kita dalam berkarya dan berinovasi. Apalagi jika tujuannya adalah untuk mengurangi beban dan masalah negeri ini. Bukan cuma kebahagiaan yang kita dapat tetapi juga amal sholeh. Amal yang akan menyelamatkan kita di saat kebahagiaan bukan milik mereka yang gemar berkata “Om Telolet Om”, melainkan hanya milik orang-orang pilihan yang berat bobot kebaikannya

Wallahua’lam

 

 

Pesan Ibunda Kartini (bag.2)

Pendidikan itu mensyukuri keberagaman

“Kami sekali-kali tiada hendak menjadikan murid murid kami jadi setengah orang Eropa atau orang Jawa kebelanda-belandaan. Maksud kami dengan mendidik bebas, ialah akan menjadikan orang Jawa itu, Orang Jawa yang sejati, yang berjiwa karena cinta dan gembira akan tanah air dan bangsanya yang senang dan gembira melihat kebagusan, bangsa dan tanah airnya, dan…kesukarannya!” (Surat kepada Nyonya Abendanon, Juni 1902)

Bergembira itu bisa diartikan sebagai rasa syukur atas segala takdir yang sudah ditetapkan Allah pada diri kita. Seperti dalam hal terlahir bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, adakah satu bangsa yang lebih superior dari bangsa atau suku lainnya? Kendatipun ada, pasti Allah sudah mengaruniakan suatu kelompok dengan kebaikan di sisi yang lain bukan?

Pendidikan adalah pembeda antara bangsa yang biadab dan yang beradab. Tetapi ketika keduanya diberikan hak yang sama, maka perbedaan antara keduanya nyaris tidak ada. Keduanya setara dalam hak dan kewajibannya sebagai manusia. Wajar saja kalau penyakit Kolonialisme selalu ditandai dengan terhalangnya akses pendidikan bagi bangsa yang terjajah.

Gagasan ini termasuk pokok yang sangat penting. Bahwa pendidikan harus mengangkat nilai kemanusiaan yang dimiliki individu tanpa mengabaikan potensi yang khas yang dimiliki masing-masing. Pendidikan itu haruslah terbangun laksana sebuah taman, tempat kita merayakan keberagaman!

Hasil gambar untuk bhineka tunggal ika
Because diversity makes us unite and even stronger (sumber)

 

 

Pendidikan itu menghidupkan akal dan budi seseorang

“Rasa-rasanya kewajiban seorang pendidik belumlah selesai jika ia hanya beru mencerdaskan pikiran saja; dia harus juga bekerja mendidik budi meskipun tidak ada hukum yang nyata mewajibkan berbuat demikian”

Berawal dari ironi tentang masyarakat Belanda di mata Kartini. Beliau sempat menyangka bahwa manusia berbudi pekerti mulia setelah pandai dan banyak pengetahuannya. Kenyataannya sama sekali tidak !

Berbagai upaya untuk memajukan manusia dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi rupanya telah melalaikan masyarakat Belanda dari tugas mendidik anak dalam hal agama dan budi pekertinya. Sebuah tatanan masyarakat yang menjadikan Belanda, dan negeri Eropa pada umumnya, negeri yang memanfaatkan ilmu sebagai dasar untuk melegitimasi kekuasaan atas harta dan jiwa manusia di atas manusia lainnya.

Dengan demikian para pendidik perlu menyiapkan diri, bukan cuma dengan bekal ilmu mata pelajaran yang sempit itu, tetapi juga dengan bekal ilmu jiwa. Karena pendidikan yang sesungguhnya akan menghaluskan semua kebaikan manusia yang tersimpan di balik akal dan hati nuraninya.

Hasil gambar untuk science without religion is blind
seperti yang Albert Enstein bilang (sumber: disini)

Pendidikan itu menyongsong masa depan

“ Perempuan adalah soko guru peradaban! …karena saya sendiri yakin sungguh bahwa dari perempuan itu pun mungkin timbul pengaruh yang besar akibatnya dalam hal membaikkan dan memburukkan kehidupan..dari perempuanlah pertama-tama manusia itu menerima didikannya” (Surat kepada Nyonya Abendanon, Januari 1901)

Tidak ada kebebasan memilih jalan hidup untuk perempuan di zaman Kartini selain menikah. Padahal dari pernikahan itu akan terjadi hubungan lahir dan batin antara dua orang yang mungkin bertolak belakang dari segi sifat, pekerjaan, dan sebagainya. Ditambah lagi dengan kewajiban mengasuh anak nantinya. Bagaimana mungkin kita bisa menjalaninya tanpa berbekal ilmu?

Perempuan, Ibu, adalah pendidik pertama dan utama bagi manusia. Sosok pertama yang akan mengilhami kebaikan maupun kejahatan di dalam jiwa seseorang. Melupakan pendidikan bagi perempuan bukan hanya mengancam masa depan sang anak, tetapi juga masa depan bangsanya. Bukankah dunia yang saat ini kelak akan dititipkan pada anak-anak kita?

Karenanya pendidikan itu memang melampaui dimensi waktu. Tanpa kita sadari, ikhtiar yang kita lakukan hari ini akan mencerminkan masa yang akan datang. Setiap laki-laki dan perempuan yang menjaga kesuciannya akan dipertemukan oleh-Nya dan mewariskan anak-anak yang baik pula. Setiap runtutan peristiwa ini tidak mungkin diraih tanpa Ilmu yang benar,yang hadir dengan niat yang ikhlas dan rasa harap dan cemas kepada Allah semata.

Hasil gambar untuk what you do today can improve all your tomorrows

Pesan Ibunda Kartini (bag.1)

Hasil gambar untuk kartini
sumber gambar di sini

Sejarah seringkali bercerita tentang kepahlawanan. Meski tak selalu identik dengan bedil dan bambu runcing di genggaman, perjuangan tanpa senjata tidak sedikit pun mengurangi nilai seorang pahlawan. Apalagi jika musuh itu tersembunyi di balik jiwanya. Musuh yang tidak nyata namun justru menjadi penentu segala niat dan itikad. Sampai kapanpun kita akan akui bahwa perjuangan atas jiwa dan hawa nafsu itu tidak sedikit cobaannya. Maka wajar bila self-struggle seperti ini layak dikenang sebagai tinta emas juga teladan sepanjang masa.

Ibunda R.A.Kartini adalah salah satu pahlawan yang berjuang dengan tinta dan pena. Hidup dipingit, dikurung sejak belia tidak lantas memadamkan cita-citanya untuk memajukan nasib perempuan. Lewat surat-menyurat dengan Orang-orang Belanda, Kartini menjaga asanya agar tetap kilau menyala. Surat-surat beliau adalah sebuah gagasan penting tentang cikal bakal pendidikan di negeri ini. Gagasan yang akan selamanya menguatkan semua guru dan pengajar – khususnya saya – dalam menjalankan profesi dan mimpi tentang pendidikan di masa kini dan nanti.

Menilik surat-surat Ibunda Kartini, seperti berlayar dengan sampan di tengah gelanggang samudera. Kadang ombak datangnya beriak kadang pula ganas, mengikuti suasana hati beliau..Such a tragic and melodramatic. Tetapi semua orang tak bisa menyangkal,  gagasan beliau tentang masa depan perempuan, pendidikan, dan nilai kebhinekaan – yang begitu jauh meneropong dan melintasi zamannya- seumpama permata yang silaunya menutupi segala kelemahan yang beliau miliki.

Di tulisan ini saya ingin berbagi tentang pesan Ibunda Kartini yang terkandung di dalam surat-menyurat beliau dengan banyak orang.  Surat-surat yang dikumpulkan oleh “Bapak” Mr. Abendanon ini disadur ulang oleh Armijn Pane dengan judul yang serupa pertama kali terbit pada tahun 1911, “Door Duisternis Tot Licht” atau “Habis Gelap Terbitlah Terang.” (Meski hanya sebagian, tulisan ini tetap saya bagi jadi dua bagian, biar ga lelah bacanya :D)

Hamba Allah adalah manusia yang merdeka

“Jalan kepada Allah dan jalan kemerdekaan hanyalah satu. Siapa yang sesungguhnya jadi hamba Allah sekali-kali tiada terikat kepada seseorang manusia, sebenar-benarnya merdekalah dia” (Surat kepada Nyonya Ovink Soer, Oktober 1900)

Perkembangan rohani dan keyakinan Ibunda Kartini adalah salah satu bagian yang menjadi daya tarik dari surat-surat beliau. Perjuangan yang beliau lakukan menjadi amat menyentuh karena terpancang pilar yang teramat kuat dan tak dinyana. Bahwa manusia adalah seorang hamba Allah, yang tak bisa dan tak akan pernah bisa memenuhi tugas kehambaannya dalam keadaan terkungkung dan mengharap belas kasih dari sekitarnya.

Berbakti kepada orang tua, itulah yang utama

“Salah satu daripada cita-cita yang hendak kusebarkan ialah: hormatilah segala yang hidup, hak-haknya, perasaannya; baik tidak terpaksa baikpun karena terpaksa, haruslah juga sega menyakiti mahluk lain, sedikit pun jangan sampai menyakitinya” (Surat kepada Nyonya Abendanon, September 1901)

Restu orang tua adalah salah satu rintangan terbesar Ibunda Kartini untuk mewujudkan cita-citanya, mencerdaskan kaum perempuan. Tetapi tidak kah kita heran? Meski dengan seteguh dan sekeras hatinya beliau demi niat yang tak kurang sedikitpun mulianya itu, menjaga kehormatan orang tua tidak boleh tidak tetap menjadi prioritas utama.

Bukankah saat ini banyak anak muda – kita sendiri pun – yang penuh ambisi namun tanpa segan mengangkangi ridho orang tua? Padahal tak jarang keinginan yang kita miliki itu hanya keinginan yang egoistis semata.

(bersambung)

Berlomba-lombalah kita

September ini adalah bulannya berkompetisi, setidaknya itu yang secara pribadi saya alami. Dimulai menjadi seorang juri merangkap sebagai pembuat naskah soal untuk Lomba Cerdas Cermat (LCC) MIPA dan di akhir bulan, ketika membawa anak-anak binaan dari sekolah swasta di Palembang untuk ikut serta dalam kompetisi LCC khusus mata pelajaran Biologi. Di tulisan ini saya ingin berbagi  setidaknya dua hal dari pengalaman tadi, yakni tentang apa pentingnya berkompetisi dan apa rahasia para juara untuk menjadi nomor satu di bidangnya.

Bicara tentang kompetisi, apakah kita sering merasa kompetisi itu suatu hal yang negatif?. Kalau iya, berarti kita ini normal kok. Kompetisi memang selalu menimbulkan guncangan dan tekanan pada status quo yang kita miliki. Tetapi sayangnya hal itu mau tak mau, suka tak suka, harus kita lewati. Bagaimana mungkin kita bisa menghindar? sementara di dalam tiap detik yang bergulir, hidup kita selalu bergerak karena kompetisi. Berusaha untuk bangun lebih awal, menghindari arus macet menuju kantor, hingga mencoba memberi performa baik kepada tim adalah sebagian dari bukti yang harus kita cermati, bahwa kita lahir untuk menjadi seorang kompetitor.

Di dunia yang semakin berjejal dan penuh sesak oleh manusia, kompetisi lah yang membuat seseorang layak dikenang. Seperti halnya ketika Finalis LCC MIPA diumumkan, Saya dan teman-teman juri mendapati beberapa sekolah yang tidak terbayang di peta persaingan sebelumnya. Ekspektasi kami, salah satu finalis – paling tidak – adalah SMA negeri XX yang reputasinya cukup terkenal di Palembang (ehm, siapa ya?), namun kenyataannya tidak. Meskipun pada akhirnya sekolah yang performanya konsisten lah yang menjadi juaranya, kehadiran sekolah yang ada di luar ekspetasi tadi menjadi momen langka dan begitu melekat bagi semua orang yang menyaksikan.

Pada akhirnya memang sang juara atau yang terbaiklah yang akan dikenang dalam setiap perlombaan. Namun bagi yang kalah, perlombaan ini tentu menjadi hikmah tersendiri. Kekalahan membuat mereka tumbuh menjadi lebih kuat, lebih sintas, dan taktis dalam merencanakan masa depan. Bukankah hal ini lumrah terjadi di alam tempat kita berpijak? Kenyataanya setiap populasi harus berusaha adaptif atau mengembangkan kemampuan terbaiknya untuk terus bertahan hidup dan menempati kedudukan yang layak di dalam ekosistem.

IMG-20160916-WA0000.jpg
Bersama sang juara yang ternyata anak olimp biologi SMAN Sumsel, such a sweet reunion with you both 🙂

***

Mereka yang mengakui lalu menyikapi kekalahan dengan perbaikan, layak untuk menaiki podium tertinggi di masa yang akan datang. Saya menyaksikannya sendiri di lomba LCC Biologi yang diadakan di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya beberapa waktu lalu. Lomba ini memang diadakan setiap tahun dan juaranya selalu berasal dari sekolah A. Tapi pada tahun ini, tradisi ini terpatahkan oleh sekolah B yang pada tahun sebelumnya bahkan tidak merengkuh satu gelar pun.

Dua hal yang saya tangkap dari pengalaman juara tahun ini, yakni tentang komitmen dan kerja keras. Komitmen terlihat dari anggota sekolah B yang berasal dari alumni tahun lalu. Setahun bukanlah hal yang sebentar bukan? Dan kebanyakan kita lelah dan berpaling daripada berusaha menuntaskan rasa penasaran. Saya pribadi juga sering begitu, ketika down dan merasa putus asa dengan apa yang saya kerjakan. Betapa berharga pelajaran dari mereka, bahwa lebih baik kita merawat konsentrasi pada satu bidang daripada mencoba menguasai banyak hal.

Selain itu, aroma kerja keras tercium dari begitu mudah dan percaya dirinya mereka menghajar soal-soal rebutan. Kita tahu sendiri kan, saat lomba, faktor mentalitas menjadi hal terpenting setelah penguasaan materi. Hasil investigasi menunjukkan kalau anak-anak dari sekolah B ini memang rela menghabiskan waktu dari jam 7.00 hingga sekolah usai…pukul 16.00 (buset ?!). Hal ini memang berjalan mendekati hari-H lomba. Akan tetapi, tetap saja buat saya ini luar biasa, melihat komitmen dan kerja keras seluruh perangkat sekolah demi mencetak para juara.

14484643_10205368467971476_7076378095213703025_n.jpg
Jawara Medical General Biologiy Competition 2016, SMA Ignatius Global School (sumber: FB page SMA IGS)
DSCN7205.JPG
tim kami dari SMA Indo Global Mandiri, better luck next year folks(aamiin) 🙂

***

 Memang benar, tidak ada alasan bagi kita untuk menghindar dari kompetisi. Tidakkah kita sadari, bahwa tidak ada kebaikan yang bisa kita dapat tanpa berlomba-lomba untuk meraihnya?

وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَٱسْتَبِقُواْ ٱلْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُواْ يَأْتِ بِكُمُ ٱللَّهُ جَمِيعاً إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. [QS. Al Baqarah, 2: 148]

Semoga saya dan kita semua kembali tersadar. Berkomitmen dan bekerja keras menjadi yang terbaik pada bidang yang kita jalani saat ini. Janganlah kita menjadi hamba yang lemah dalam ikhtiar sebagaimana burung yang hinggap di pohon seharian kemudian berharap kenyang dengan sendirinya. Terlebih sebagai muslim, pencapaian dunia sangat berarti sebagai bekal dan hujjah kita di akhirat kelak.

Wallahua’alam bisshawab

Membaca jejak merdeka dari Bapak Bangsa

“Maaf, tidak ada lomba kerupuk atau balap karung hari ini.”

Seakan lupa dengan maksud keramaian di luar pada hari itu. Hari dimana tanah air merayakan miladnya yang ke-71.  Di saat orang lain berduyun-duyun ke lapangan menanti pesta tahunan ini, saya lebih memilih di rumah – mager (malas gerak). Bukannya tidak menghargai sih. Jujur, momen-momen hari kemerdekaan itu masih begitu sakral dan menghentak di hati saya. Hal itu benar-benar terasa sejak menjadi anggota paskibraka di sekolah. Menghadirkan Sang Merah Putih di cakrawala sembari mengumandangkan lagu “Indonesia Raya” itu adalah hasil perjuangan yang tidak instan apalagi main-main jerihnya.

Saya hanya mencoba merayakan ulang tahun negeri ini dengan cara yang lebih sederhana, lewat perenungan dan Introspeksi. Di bilik perenungan itu saya tidak sendiri, tetapi ditemani oleh buku karangan jurnalis Tempo yang berjudul “Agus Salim: Diplomat Jenaka Penopang Republik.” Setelah berbulan-bulan membiarkan buku ini bersandar di lemari, akhirnya saya tergerak juga membacanya. Membaca perjuangan Bapak Bangsa seperti Agus Salim adalah sarana yang tepat untuk mengenal kembali makna kemerdekaan bagi diri kita masing-masing. Apakah benar makna kemerdekaan hanya sebatas pengibaran bendera yang beriringan dengan pesta rakyat? Saya rasa tidak.

IMG20160817210519.jpg

Merdeka punya makna yang sama, hanya berbeda cara meraihnya. Perbedaan paradigma dan langkah dalam menuju kemerdekaan di antara Agus Salim dan rekan-rekannya menjadi salah satu kisah berharga untuk kita simak. Beberapa di antara Bapak Bangsa menghendaki negara ini berjalan sesuai tradisi dan syariat Islam, mereka adalah Para Petinggi Partai Sjarikat Islam (SI), seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan adiknya, Abikoesno. Kelompok yang lain menghendaki perjuangan kaum proletar sebagai landasan, mereka adalah Para petinggi Sjarikat Islam Merah yang kelak berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Bisa dibayangkan betapa sulitnya posisi Agus Salim sebagai penasehat SI pada waktu itu, kecerdasan berbahasa- yang melambungkan nama Agus Salim- saja tidak cukup tanpa adanya kebijaksanaan. Syahdan, Perpecahan Internal di kubu SI akhirnya usai, sementara Agus Salim tetap dengan pendiriannya, yakni membangun Indonesia dengan Islam yang cerdas, kritis, dan moderat.

Mengapa Islam menjadi landasan kemerdekaan? Bukankah Indonesia diisi oleh penganut agama yang lain selain Islam? Pemikiran tersebut tidak lepas dari pengalaman beliau sebagai drogman (penerjemah)di Konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi rentang 1906-1911. Saya tidak akan bicara panjang tentang nilai-nilai Islam di sini, namun pada faktanya,  Islam dan para ulama lah yang paling gencar menyuarakan kemerdekaan bagi bangsa-bangsa terjajah pada waktu itu. Pengalaman kerja di Jeddah bukan hanya mempertemukan Agus Salim pada keimanan -setelah bertahun-tahun dicekoki dengan pendidikan ala Barat- tetapi juga menjadi big reason untuk memerdekakan negeri sendiri dari cengkraman bangsa lain.

Merdeka berarti bebas menentukan langkah hidupnya sendiri. Apabila kita sudah khatam dalam memahami makna kemerdekaan secara universal, bolehlah kita membawanya masuk ke dalam diri kita masing-masing. Apakah hari ini kita sudah merdeka? Sementara hidup kita masih bergantung pada orang lain. Apakah hari ini kita sudah merdeka? Sementara kita lebih sibuk membalas pesan dan mengusapkan jemari pada media sosial, ketimbang menulis atau berkarya untuk orang banyak. Sungguh, merdeka jiwa itu lebih penting ketimbang fisik semata.

Agus Salim memang wafat dalam keadaan miskin dan melarat, tetapi lewat beliaulah kita bisa mengeja i-n-d-o-n-e-s-i-a  hingga saat ini. Agus Salim memang tak berpunya, namun beliau berhasil menjaga iman dan hati nuraninya untuk tidak berpihak pada kebatilan. Beliau adalah teladan kita dalam memaknai kemerdekaan. Tidak perlu kita cari di mana letak merdeka itu karena dia ada di dalam diri, lebih dekat dengan urat nadi kita.

Wallahua’alam bisshawab

Hasil gambar untuk agus salim
Soekarno dan “the grand old man” H. Agus Salim di pengasingan (Sumber: di sini)

 

 

Full Day School? siapa takut!

Tulisan ini mungkin sekedar unek-unek saya terhadap isu yang lagi hangat diperbincangkan di dunia pendidikan kita. Posisi saya di sini cuma sebagai pengajar nonformal yang tidak pernah merasakan riweuhnya mengajar di sekolah. Tapi semoga saja sudut pandang saya ini bisa menambah khazanah kita dalam menyikapi persoalan yang ada.

Semua ini berawal dari wacana dari Bapak Menteri Pendidikan terbaru di kabinet  kita, Muhadjir Effendi, untuk menambah jam pelajaran di sekolah. Wacana ini kemudian digaungkan dengan nama Full Day School (FDS) oleh media massa. Pemakaian nama FDS sendiri saya pikir agak menyesatkan karena Full Day bukan berarti menambah materi di sekolah. Tapi di situlah sisi menarik FDS yang kemudian memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Menambah durasi siswa untuk “menetap” di sekolah menurut saya tidak seseram kedengarannya. Jika sekolah dapat memenuhi tuntutan filosofisnya sebagai taman yang memiliki daya tarik dan memberi rasa nyaman, Sekolah akan bernilai di mata siswa layaknya rumah kedua. Kepergian anak dari sekolah ke rumah hanyalah sekedar pergantian dimensi ruang. Hal yang selayaknya ditanggapi tanpa rasa khawatir ataupun cemas oleh siswa dan orang tua.

jangan sampai anak kehilangan alasan untuk sekolah (Sumber: di sini)

Sayangnya reputasi sekolah hari ini tidak seindah ekspektasi para pendahulu kita. Menambah durasi sekolah dianggap  mengekang, mengurangi jatah bermain, membuat capek, dsb. oleh siswa. Kepercayaan orang tua terhadap sekolah pun keadaanya tidak lebih baik. Tengok saja begitu banyak kasus kejahatan dan konflik mencekam antara orang tua – guru di sekolah yang berselang-selang menghiasi pemberitaan. Hal semacam ini membuat siapapun pasti berpikir ulang sambil bergumam, “Siapa sih yang mau membiarkan anaknya berlama-lama di tempat mengerikan seperti itu?”

Akan tetapi hal di atas tidak bisa begitu saja menjadi alasan untuk menolak wacana FDS. Kisah pilu yang terjadi di sekolah kebanyakan diderita oleh anak-anak yang bersekolah di level negeri. Sementara itu, siswa yang bersekolah di swasta elite sudah cukup terbiasa dengan pola full day sehingga respon kaget sulit kita temui pada orang tua yang menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan yang terkenal independen dari segi finansial. Lalu hal apa yang menjadikannya berbeda?

Tentu saja, pepatah ada uang ada barang sangat berlaku dalam menjelaskan fenomena ini. Orang tua yang rela merogoh kocek lebih dalam untuk menyekolahkan anaknya di sekolah swasta berhak atas fasilitas dan kualitas pengajaran yang lebih baik. Sejujurnya, sulit bagi saya untuk menentukan rasio untuk menisbatkan makna “lebih baik” kepada sekolah swasta. Namun dari pengalaman yang saya temui di lapangan, salah satu poin yang jadi pembeda dari sekolah negeri adalah kontrol mutu yang ketat oleh pihak yayasan, terutama dalam hal rekrutmen guru mata pelajaran.

Guru adalah ujung tombak bagi satuan pendidikan formal manapun yang kita temui. Memperhatikan segala kebutuhan guru dalam mengajar adalah usaha jangka panjang untuk menjaga tegaknya reputasi sekolah. Di sekolah swasta, jumlah siswa dijaga seramping mungkin sehingga memungkinkan guru untuk fokus dan mengenali siswanya sesuai dengan minat dan metode belajar masing-masing. Tak lain agar semakin banyak anak didiknya yang berhasil memenuhi standar ditambah lagi dengan berprestasi di luar sekolah. Budaya kompetitif adalah hal yang asing di kalangan guru negeri tapi sangat kental dan lazim bagi guru swasta. Tentunya, keinginan untuk berprestasi menjadi stimulus tersendiri bagi guru untuk terus berkembang di dalam profesinya.

Mengembangkan kompetensi guru dan kemampuannya menerapkan bahan ajar di kelas saya pikir menjadi titik kritis pendidikan negeri saat ini. Tanpa kepedulian pemerintah untuk hal tersebut, maka selamanya kebijakan pendidikan akan mental akibat kritik dan protes keras masyarakat.

Memangnya guru punya motivasi untuk belajar? Jika teman-teman pembaca merasa ragu, saya ingin mengajak kita semua untuk melihat kegiatan para rekan guru di Komunitas Guru Belajar Nusantara (link di sini) . Di dalam komunitas nirlaba tersebut akan kita temukan guru-guru yang penuh semangat berbagi solusi demi memberi pelayanan terbaik kepada anak didiknya.

Sebaliknya, penggunaan insentif atau iming-iming seringkali menimbulkan kecurigaan di antara pemerintah dan guru. Paradigma tunjangan sertifikasi saat ini saya pikir – mohon maaf –  sangat menghina kedudukan guru sebagai manusia yang dilatih untuk membentuk karakter dan kompetensi manusia dengan tulus tanpa mengharap imbal jasa. Meskipun ini bukan jadi pembenaran untuk menggaji guru dengan seenaknya.

Pada akhirnya, Bertambah baiknya kualitas dan kompetensi guru adalah demi si anak didik itu sendiri. Saya ingin sekali mengajak kepada Bapak Menteri dan jajarannya untuk mengingat kembali guru-guru mereka di sekolah. Betapa besar jasa beliau menginspirasi Bapak hingga akhirnya bisa menduduki posisi strategis di republik ini. Saya benar-benar memohon agar Bapak bisa membantu guru  di seluruh Indonesia untuk tidak hanya pintar menjelaskan (teaching) tapi juga mampu memberi teladan dan memaknai pembelajaran (educating).

Bersama guru-guru yang memahami makna belajar. Saya yakin masa depan anak kita akan baik, terlepas apapun profesi dan tantangan hidup ke mereka depannya. Bersama guru-guru yang keren dan inspiratif, Full Day at School? Siapa Takut! 🙂

Mudik, menyambung Narasi untuk Kopi Pagaralam

Rumah Kopi

Mudik tak pernah gagal menghadirkan cerita dan perspektif baru bagi setiap orang, tak terkecuali mereka yang berada di dalam lingkup pergaulan kopi. Entah itu para petani, pekerja seduh, atau sekedar penikmat kopi. Perjalanan mudik ke kampung halaman mungkin bisa menjadi momen mengistirahatkan tubuh dari segala rutinitas dan ketergantungan terhadap kafein secara lahir dan batin. Hanya saja, hal itu sulit berlaku bila kampung halaman anda adalah daerah penghasil kopi, seperti Kota Pagar Alam.

Alih-alih membuat diri lupa sejenak, mudik ke pagaralam malahan semakin memperkuat pertalian emosi anda dengan minuman yang berasal dari tumbuhan perdu ini. Rutinitas pekerjaan mungkin menyisakan sedikit waktu untuk anda menyesap secangkir kopi dan beranjak dengan setangkup energi. Akan halnya waktu mudik yang begitu luang, memungkinkan anda untuk menenggelamkan diri di balik dedaunan kopi, mencium wangi bunganya, hingga mencicipi manisnya buah yang ranum. Sebuah pengalaman tak ternilai yang membuat siapapun yang hadir di sana ingin berbagi. Sembari menaruh…

View original post 378 more words

masalah literasi dan solusinya (2)

sumber gambar di sini

Dari tulisan sebelumnya mungkin ada beberapa poin yang bisa kita tangkap, bahwa masalah literasi di tanah air bukan pada ranah fasilitas atau kemampuan membaca, tetapi lebih pada rendahnya minat. Sebuah problem yang tidak tampak bahkan terabaikan karena letaknya pada pribadi masing-masing. Minat membaca bisa dianggap penting, bisa juga tidak, tergantung dari pola pikir dan budaya hidup seseorang.

Hasil diskusi dengan seorang teman yang menurut saya benar-benar penggila buku berat bernuansa ekonomi pun memberi fakta yang mengejutkan. Bagaimana tidak? Untuk ukuran orang yang terbiasa melahap buku teks yang berisi fakta dan angka – terlepas dari latar belakangnya seorang insinyur teknik kimia – beliau masih menganggap dirinya moody untuk urusan membaca.

Beliau bilang..

“asalkan sudah suka sesuatu, semakin sulit bacaan justru terasa semakin menarik dan menantang.. melahap 20+ jurnal dan 2-3 buku tebal dalam sepekan, itu hal biasa, nyaris tanpa beban..


tapi jika sudah tidak berselera sejak awal, semudah apapun bacaan itu, sangat jarang bisa saya selesaikan, paling banter cuma 1-2 bab aja yang kebaca, itu paling banter loh, dan itu palingan 1-2 bab dari buku tipis (<200 hlm) aja.. paling parah ya ga kebaca sama sekali.. malah seringkali covernya aja ga kesentuh, saking malasnya.. hehe.. :p”

Intinya adalah suka. Suka bukan sekedar “ingin” tapi mengandung makna yang lebih dalam dari itu. Kesukaan atau minat harus kita maknai sebagai kecintaan karena setiap motif yang didasari rasa cinta pasti akan mendorong timbulnya perilaku dengan sendirinya. Tugas kita adalah menemukan langkah-langkah agar minat itu tumbuh dan terpelihara.

Lalu bagaimana langkah yang harus kita jalani ? Seperti halnya ketika saya menanyakan ini ke teman sebelumnya, yang beliau lakukan adalah mengajak saya untuk memahami dahulu tentang “karakter” atau kekhasan yang dimiliki pribadi masing-masing . Karakter ini lah yang akan menentukan metode dan gaya yang tepat untuk kita dalam membaca. Tidak ada satu metode pun yang dapat berlaku (applicable) untuk semua orang.

Berhubungan dengan menumbuhkan minat membaca, Saya mengambil contoh diri saya pribadi. Saya adalah seorang extrovert yang energi dan motivasi yang utamanya bersumber dari luar. Ketika rasa malas menyerang, yang saya lakukan adalah membuka tulisan atau pidato singkat di youtube dari penulis ternama, tentang pentingnya literasi dan tanggung jawab para pendidik dalam mengembangkan kompetensi dan kecintaannya dalam membaca dan menulis. Hingga akhirnya saya tahu dan -semoga saja- menjadi  yakin seyakin-yakinnya bahwa membaca dan menulis adalah wujud rasa syukur dan kepedulian. Sebuah aktivitas yang bermakna luhur serta menghasilkan kepuasan yang tak ternilai secara lahir dan batin (wuiih :D)

Sebelum menulis tentang hal ini sebenernya saya merasa malu. Malu karena saya sendiri belum bisa menjadi contoh yang baik untuk apa yang saya tulis. Oleh karena itu, solusi dan langkah untuk memperbaiki masa depan literasi yang bisa saya tawarkan saat ini cukup satu dulu saja, yakni temukan, gali dan gali terus minat kita dalam membaca. Jangan lupa sebarkan ilmu yang kita peroleh dengan tulisan yang autentik lewat jemari kita. We’ll see what happens next..

 

 

Masalah literasi dan solusinya

Akhir Mei yang lalu saya hadir di acara puncak Pesta Pendidikan 16 yang berlokasi di auditorium Mall F(x) Sudirman, Jakarta. Di dalamnya ada diskusi, penampilan seni, dsb. yang bisa jadi ruang inspirasi bagi siapapun yang concern di bidang pendidikan. Di sana pula, diskusi paralel bisa ditemukan di setiap sudut di mall f (x) (kecuali toilet ya :p) . Lebih unik lagi karena acara ini terlaksana berkat hasil “keroyokan” berbagai komunitas pendidikan, terlihat sekali bagaimana keragaman masyarakat kita yang ”berbeda-beda tetapi tetap satu jua” ini tertuang.

Sulit rasanya untuk menceritakan segala hal yang saya temui di sana, Terlalu banyak bahkan terlalu menarik (bingung) . Tapi paling tidak ada salah satu diskusi yang menjadi magnet tersendiri buat saya, yaitu  Talkshow “Literasi dan Sahabat Literasi” yang dibawakan Mendikbud, Anis Baswedan, bersama dengan mbak Najwa Shihab, Aan Mansyur, dan Gol agong. Dua tokoh kekinian yang mengebrak dunia literasi di Indonesia lewat karyanya.

 

pesta pendidikan.jpg
Pak Anies Baswedan dan narasumber lain (Sumber: dokumentasi panitia)

Bisakah kita hidup tanpa membaca?

Dengan melihat aktivitas yang kita lakukan sehari-hari, pertanyaan tadi sebenarnya cukup mudah untuk dijawab. Mulai dari menonton televisi, membuka surat kabar, atau yang lebih canggih lagi seperti memantau linimasa di jejaring sosial. Tidak ada satupun dari hidup kita yang luput dari kegiatan membaca. Tanpa kemampuan membaca, manusia seperti kehilangan banyak hal dalam hidupnya.

Tapi membaca saja tidak cukup, manusia juga harus dilengkapi dengan kemampuan menulis. Karena dengan itulah manusia membuktikan keberadaannya, sebagai mahluk yang dianugerahi kecerdasan dan kemampuan mencipta – bukan cuma menikmati – karya intelektual yang bermanfaat untuk sekelilingnya.

Kemampuan yang saling melengkapi antara membaca dan menulis atau Literasi, inilah yang menjadi problem di negara berkembang seperti Indonesia. Begitu ironis melihat di satu sisi, masyarakat kita diakui dengan fasilitas perpustakaan terbaik ke-36 di dunia, tapi di sisi lain minat baca Indonesia menempati peringat ke-2..Terendah di atas Bostwana – shock (Sumber di sini )

Masalah apa saja yang kita temukan di dunia literasi kita saat ini? Pak Anis Baswedan, Menteri Pendidikan kita, menjelaskan setidaknya ada tiga masalah yang harus kita cermati sebagai titik awal mencari solusinya:

Masalah pertama: Ketidaksadaran bahwa rendahny minat baca adalah masalah.

Membaca adalah bagian paling sederhana dari makna literasi. Cukup menghadirkan waktu luang dan adanya bahan bacaan. Tetapi bukan perkara mudah untuk masyarakat kita yang terbiasa – atau mungkin dimanjakan- dengan komunikasi lisan (oral) dibanding tulisan. Padahal di zaman pergerakan kemerdekaan saja, tokoh-tokoh seperti Bung Karno, dan Haji Agus Salim, bukan cuma tajam dalam berpidato, tetapi juga mampu menggerakan semangat juang para pemuda bermodalkan tinta dan pena. Di sini lah perlu adanya perubahan pola pikir, dimana rendahnya minat baca masyarakat adalah sebuah kemunduran yang teramat dahsyat bagi suatu bangsa. Serem kan?

 

Masalah kedua: Rendahnya kesadaran untuk membaca

Sampai kapan pun, buku tetap menjadi bahan bacaan sekaligus produk intelektual yang tak lekang dimakan zaman. Tapi kini, banyak orang seolah mencukupkan ilmu dengan perangkat elektronik dan jaringan internet. Buku-buku dianggap tidak praktis dan memakan waktu dibanding informasi daring (online) yang kredibilitasnya masih diragukan.  Di antara mereka, muncul para “sarjana instan”, “ulama Google”, yang pandai namun kasar dalam berdebat. Sebuah fenomena yang terangkum dalam teori Dunning Kruger Effect, seperti yg dijelaskan oleh teman sy Gibran dr blog pribadiny.

 

Masalah ketiga: Kurangnya Penggiat di bidang literasi

Menghidupkan budaya literasi pada masyarakat yang kronis terhadap minat baca membutuhkan kerjasama dan program yang tertata. Mungkin sudah banyak upaya individual untuk menginisiasi hal semacam ini, contohnya aksi nyata seorang pria asal Purbalingga  dengan kuda pustaka kelilingnya. Tapi alangkah baiknya kalau niat baik itu dilakukan secara berkelompok untuk dampak yang lebih nyata bagi masyarakat.

 

(bersambung)