Kita sering berjalan ke suatu tempat bukan? Tidak peduli dekat atau berkilo-kilo jauhnya. Setiap perjalanan akan mempertemukan kita pada episode demi episode yang kadang agak nyeleneh dari perencanaan kita sebelumnya. Ada orang yang bisa menanggapinya dengan santai, tapi buat saya pribadi, berbagai distorsi terhadap apa saya rencanakan seringkali membuat timbulnya mental breakdown yang cukup signifikan (well, mungkin karena saya bergolongan darah A -_-). Tetapi setelah saya pelajari, ternyata tidak ada resep khusus agar langkah kita tetap teratur meski dalam keadaan gontai dan lemah sekalipun. Satu-satunya hal bisa memantapkan langkah kita adalah sejauh mana kita memahami dasar dari semua pekerjaan yang kita jalani yakni “Niat” serta “Tujuan” yang melandasinya.
Memahami tujuan adalah hal yang penting karena ia adalah rahim dari segala tindakan. Dalam konteks saya saat ini yang diamanahkan sebagai pelatih kelas Olimpiade Biologi, tujuan yang masih melekat di dalam pemikiran saya adalah bagaimana anak-anak di sekolah ini bisa lolos dalam seleksi tingkat Kota dengan seksama dalam waktu sesingkat-singkatnya (mirip naskah proklamasi). Untuk itu saya merasa cukup dengan memberi materi dan drilling soal-soal begitu saja kepada anak-anak. Tanpa mempertimbangkan kondisi mereka setelah berjam-jam “dihajar” di sekolah.
Alhasil tidak sekali dua kali saya menemui ganjalan selama melatih. Dimulai dari kelas yang tidak berjalan sesuai lesson plan, kehadiran yang minim, hingga beberapa siswa yang terjangkit “Muntaber” alias mundur tanpa berita. Di tengah kebingungan mempelajari dan menyusun materi yang bisa memudahkan saya dalam proses mengajar. Tiba-tiba saya disentil oleh seminar daring “Kurikulum Merdeka Belajar” yang dibawakan oleh Ibu Najeela Shihab dari Kampus Guru Cikal.
Bagian pertama dari kurikulum yang menumbuhkan merdeka belajar, selalu dimulai dengan gambaran CITA-CITA. Kejelasan kompetensi ideal yang akan ditumbuhkan, menjabarkan bagaimana kita dapat mengasess capaian, dan bagaimana tahapan menuju tujuan (assessed curriculum). Pertanyaan sederhana tentang tujuan bersama, sedihnya bukan pertanyaan yang dengan mudah dijawab oleh banyak orang di satuan pendidikan. Sebagian kita merasa tidak memiliki kemerdekaan menetapkan tujuan, sebagian lagi jarang merefleksikan pengalaman masa lalu atau kesulitan saat diminta membayangkan masa depan.
Proses pendidikan yang begitu kompleks, dalam kurun waktu belasan tahun dilalui tanpa menjawab pertanyaan mendasar, untuk apa saya hadir di kelas, belajar dan mengajar setiap hari. Akibatnya, banyak hal yang kita pikir kita dapatkan dari pendidikan, mungkin sekedar “kebetulan” bermanfaat. Bukan proses yang dengan eksplisit dan sengaja direncanakan, dengan kata lain, bukan kurikulum. Tak heran sebagian anak jadi tertinggal, tak heran nasib anak ditentukan bukan oleh kualitas pendidikan tapi oleh proses seleksi alias kondisinya saat masuk sekolah.
(Sumber: Facebook KGB)
Mungkin yang Beliau ceritakan adalah kurikulum pendidikan secara luas, namun tetap saja saya merasa tersentil karena saya dan anak-anak sendiri adalah bagian dari kurikulum. Saya merasa berdosa karena menyederhanakan tujuan kelas yang saya ampu sebagai sarana untuk sebuah kompetisi temporer semata. Meskipun sekolah sendiri telah merestui, tetapi dimana letak merdekanya?
Kemerdekaan adalah langkah awal kita menuju tujuan belajar. Hal itulah yang mendorong saya jauh hari mengajukan pertanyaan lewat secarik kertas kepada seluruh anak-anak tentang “Apa yang ingin kamu pelajari dan bagaimana cara yang paling kamu sukai untuk belajar Biologi?.” Semua menjawab dengan cukup serasi..yakni ”tidak ribet kak, menggunakan media visual kak, ada praktikumnya kak” dan sebagainya. Terlihat bahwa anak-anak punya keberanian mengajukan pendapat, keberanian untuk mendeklarasikan kemerdekaannya dalam belajar.
Hanya saja saya lupa untuk menindaklanjuti suara-suara mereka. Hingga nasehat Bunda Najeela membuat saya kembali tersadar dan membuka kembali lembaran tentang cita-cita mereka di kelas yang sudah tersimpan di rak berbulan-bulan lamanya.
Mengintip kembali tujuan itu seperti membuka lembaran lama, berat dan ngilu rasanya. Terutama ketika menyadari banyak sekali langkah-langkah keliru yang kita ambil. Olimpiade sains yang tujuan utamanya adalah menumbuhkan kecintaan terhadap sains, di tangan saya, berubah menjadi kuliah umum yang pragmatis dan menambah beban kurikulum anak-anak di sekolah.
Tidak ada hal lebih baik melainkan memohon ampun kepada Allah dan kepada anak-anak dengan menyelaraskan apa yang dulu pernah menjadi cita-cita milik bersama. Saya sejak awal berharap agar anak-anak memiliki literasi ilmiah yang baik, menjadi orang yang terampil dalam membaca, menganalisa, dan percaya diri menyampaikan pikirannya. Mereka pun berharap agar mendapat wawasan baru dan keterampilan lab yang tidak diajarkan di kelasnya.
Untuk itu saya kemudian menggagas kembali kelas praktikum, PROBIOTIK (Praktikum Biologi FUntastic) yang akan diadakan minimal 3 minggu sekali. Di kelas Probiotik yang pertama ini, saya dan anak-anak membuat ekspresimen sederhana tentang “pengaruh asam terhadap kelarutan protein” yang menginspirasi pembuatan keju di seluruh dunia. Eksperimen ini secara langsung mengajarkan tentang sikap dan metode ilmiah yang dipelajari di kelas, juga berhubungan tidak langsung dengan silabus olimpiade tentang “Protein” sebagai makromolekul yang sangat vital bagi kehidupan.
Saya hanya berdoa agar kami semua bisa menjaga semangat dan kekompakan di kelas ini. Begitu halnya dengan target berprestasi. Semoga selarasnya tujuan kami dan sekolah bisa membuahkan bukan hanya prestasi tapi juga ridho Allah sebagai balasannya. Aamiin